SEBUAHRENUNGAN KYAI DAN PELACUR KH. Ali Yahya Lasem terkenal tampan, berbadan tegap dan atletis. Bila sarung, sorban, dan kopiahnya dibuka beliau mirip bule Eropa, Amerika atau Australia. Tak Istripertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri gurunya, K. Abu Bakar bin H. Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun). Genealogyfor Kyai Haji Yahya (Penghulu Mukim Kabupaten Ambal) (deceased) family tree on Geni, with over 225 million profiles of ancestors and living relatives. People Projects Discussions Surnames ProfilKH Ali Maksum KH Ali Maksum bukan seorang tokoh asli dari Kota Gudeg Yogyakarta. Beliau merupakan seorang urban, pendatang dari Kota Lasem Rembang Jawa Tengah. Ayah beliau, KH. Maksum bin Ahmad Abdul Karim, adalah seorang Ulama Tradisional yang banyak mempunyai santri. Ibundanya bernama Hj. Nuriyah binti Muhammad Zein. Tag Kyai Haji Yahya Cholil Staquf Religion, Humanitarianism, and G20 Policy Initiatives: Promoting Freedom of Religion or Belief (FoRB) By JoAnne Wadsworth, Communications Consultant, G20 Interfaith Forum - - - On Thursday, July 15th, AliMaksum Halaman Pembicaraan Baca Sunting Sunting sumber Lihat riwayat KH. Ali Maksum lahir di Lasem, Jawa Tengah (02 Maret 1915 - 07 Desember 1989) . Ayahnya bernama KH. Ma'shum dan ibunya Nyai. Hj. Nuriyah. Riwayat Hidup [ sunting | sunting sumber] Ali Maksum lahir dan besar di lingkungan pesantren. Setelahbelajar al-Qur'an kepada ayahnya, Abdul Malik diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kyai Abu bakar bin Haji Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas. Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. KyaiHaji Yahya Syabrawi Ganjaran Gondanglegi Malang - Perusahaan Indonesia dengan nomor registrasi 50/31969 /AD diterbitkan pada tahun 2014. KyaiHaji Yahya Cholil Staquf KH. Yahya Cholil Staquf is a distinguished Muslim scholar and co-founder of the global Humanitarian Islam movement, which seeks to recontextualize (i.e., reform) obsolete and Ali Maksum was himself a disciple of Shaykh Umar Hamdan al-Makki (1858 - 1948) and Shaykh Hasan Masshat al-Makki (1900 - 1979) of Ayahnyaadalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra. KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langsung oleh ayah Beliau. Alibin Ma'sum dilahirkan tanggal 2 Maret 1915 di Soditan, Lasem, Kabupaten Rembang pantai utara Jawa Tengah, Ali Ma'sum merupakan putera pertama dari hasil perkawinan Kyai Haji Ma'sum (yang lebih popular dengan Mbah Ma'sum) dengan Nuriyah binti Kyai Muhammad Zein. KHAli Maksum merupakan ulama, tokoh NU dan pesantren pada periode tahun 1940-1989. Ulama yang akrab dipanggil dengan 'Kiai Ali' ini lahir pada tahun 1915 di Lasem, Jawa Tengah, dari pasangan ulama besar, KH Maksum Ahmad dan Nyai Hj Nuriyati. Sejak kecil, Kiai Ali tumbuh dalam lingkungan tradisi pesantren dan ketokohan NU di Lasem. YayasanKyai Haji Yahya Syabrawi Ganjaran Gondanglegi Malang - Perusahaan Indonesia dengan nomor registrasi 104/36350 /AD diterbitkan pada tahun 2014. KyaiHaji Yahya Cholil Staquf Yahya Cholil Staquf serves as General Secretary of the Nahdlatul Ulama (NU) Supreme Council. As the world's largest Muslim organization—with t08BT. KH. Ali Yahya Lasem terkenal tampan, berbadan tegap dan atletis. Bila sarung, sorban, dan kopiahnya dibuka beliau mirip bule Eropa, Amerika atau Australia. Tak heran kalau banyak wanita terpesona. Suatu hari beliau ada undangan mengisi pengajian di Jepara, saat di perjalanan mobil yang beliau tumpangi berhenti di sebuah lampu merah. Saat itu beliau duduk di samping sopir dengan melepas sorban dan kopiah yang dipakainya. Tiba-tiba seorang wanita muda, menor, dan seksi menghampirinya. Wanita penghibur itu mengira bila lelaki gagah dalam mobil adalah turis banyak duit yang sedang mencari kesenangan di Indonesia. “ Malam, Om. ” “ Malam. ” “ Ikut dong, Om. Boleh, ya…? ” “ Oh, boleh, boleh. Silakan masuk. ” Wanita muda itu bergegas masuk mobil. Pintu ditutup dan mobil mulai jalan. “ Mau ke mana, Om…? Butuh aku, gak….? Aku temenin sampai pagi ya, Om…? ” Sambil pakai lagi kopiah dan sorban Kiyai Ali santai menjawab, “ Oo, ini lho mau ngaji di Jepara. Ndak apa-apa, silakan ikut aja… ” Wanita itu kaget dan salah tingkah, “ Oh, jadi Bapak ini Kiyai, ya….? ” “Tadi panggil om sekarang panggil pak kiyai. Lucu, ya…. “ Kiyai Ali tersenyum geli. “ Maaf, Kyai, saya benar-benar tidak tahu. Sekali lagi maaf… ” Wanita itu kian tegang dan raut wajahnya pucat ketakutan. Tapi Kyai Ali santai saja berkata, “ Oo, ndak apa-apa. Santai saja, Mbak. Sekali-kali ikut pengajian bagus itu… ” “ Ndak usah Kyai, saya turun di sini aja….” “ Enggak bisa, pokoknya harus ikut. Tadi kan sampean bilang mau ikut, ya harus ikut… ” “ Tapi saya kang gak pakai jilbab, Kyai…? ” “ Gampang, nanti tak pinjem jamaah…. ” “ Tapi saya malu Kiyai…. ” “ Lho, sampean jadi pelacur ndak malu, kok pengajian malah malu. Piye to…? ” “ Bagaimana ini, Kyai…? ” Wanita itu makin salah tingkah, “ Saya takut, Kyai…? ” Tadi bilang malu sekarang katanya takut. Hehe.. Dengan bijak Kyai Ali menenangkan, “ Sudahlah, santai aja….” Mobil pun terus berjalan hingga akhirnya sampai ke tempat tujuan. Jepara. Suasana tempat diselenggarakannya acara pengajian sudah ramai. Para jamaah laki-laki dan perempuan memadati area tempat acara. Gegap gempita para panitia menanti kedatangan Kyai Ali. Begitu turun dari mobil Kyai Ali langsung menghampiri jamaah ibu-ibu, “ Maaf Bu, bisa pinjam jilbabnya. Ini lho, Bu Nyai lupa bawa jilbab. ” Bu Nyai adalah panggilan kehormatan yang biasanya disematkan pada istri kyai. Masa iya istri kyai lupa berjilbab. Hehe… Dengan sedikit bingung ibu itu menjawab tergesa-gesa, “ Oh, bisa Kyai. Sebentar saya ambilkan. ” Ibu itu bergegas pergi dan tak lama sudah kembali. Jilbab yang dibawanya itu di sodorkan ke dalam mobil dan langsung dipakai oleh sang wanita. Setelah rapi wanita itu turun dari mobil dan masya Allah… Langsung diserbu rombongan ibu-ibu untuk mencium tangannya. “Ngalap berkah,” katanya. Mendapati sambutan kehormatan seperti itu, wanita yang kini disulap jadi Bu Nyai langsung berwajah pucat. Ia dipersilakan masuk, dijamu, dan dilayani bagaikan seorang ratu. Ada haru campur malu menyelinap di hatinya. Pengajian pun digelar dengan seksama, Kyai Ali menjadi pembicara yang luar biasa, penyampaiannya ringan tapi dalam makna kandungannya. Usai acara Bu Nyai Dadakan dipersilakan menikmati jamuan rupa-rupa makanan. Lalu makan berat. Tapi sebelum makan rombongan jamaah ibu-ibu mohon didoakan keberkahan dari Bu Nyai Dadakan, sontak saja ia kaget setengah mati. Sudah lama tak berdoa, sudah lupa doa yang dulu dihafal waktu kecil ngaji di kampung. Untungnya masih ingat Rabbana Atina Fi Dunya Hasanah, Wa Fil Akhirati Hasanah.. Pun demikian sebelum pulang, jamaah ibu-ibu bergantian cium tangan dan diantar dengan hormat sampai masuk mobil. Selama perjalanan di mobil wanita penghibur itu menangis sedu sedan, sesenggukan dengan air mata bercucuran. Kyai Ali dan sopir membiarkannya hingga reda.. Setelah suasana agak tenang, Kyai Ali menasihati, “ Apakah sampean tidak melihat dan berpikir tentang bagaimana orang-orang tadi memperlakukanmu, menghormatimu, mengerumunimu, mengantarkanmu, dan rela juga mereka antri hanya untuk dapat mencium tanganmu satu demi satu, bahkan minta berkah doa darimu, padahal tahu sendiri kamu siapa…? ” Kembali sang wanita menangis, merasa hina, miris, dan sedih mengingat perbuatan dosa yang selama ini dilakukannya. Tapi Allah menutup aibnya, Allah sangat menyayanginya. “ Hari ini, ” lanjut Kyai Ali, “ Sampean dapat nasihat yang mungkin nasihat berharga selama hidupmu, maka segeralah taubat dan mohon ampun sama Allah. Jangan sampai nyawa merenggut sebelum taubat…” Tangisnya kian deras. Kyai Ali membiarkannya. Sambil terisak wanita itu berkata, “ Terimakasih Kyai atas nasihatnya, dan berkah dari kejadian ini. Mulai hari ini saya bertaubat dan berhenti dari pekerjaan bejat ini. Sekali lagi terimakasih Kyai…” Menyeksamai kisah ini berarti kita belajar bijaksana. Para ulama, pendahulu, dan guru kita para mubaligh berdakwah dengan baik dan bijak, mengajak tanpa menginjak, menasihati tanpa menyakiti, dan menunjukkan kebenaran tanpa merendahkan derajat kemanusiaan. Inilah salah satu telaga yang indah dan menyejukkan, yang menjadikan banyak orang tertarik dengan Islam. Semoga jadi pelajaran bagi kita untuk menyampaikan kebenaran dengan baik. Merupakan ulama yang namanya sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia yang hidup di perempat terakhir abad ke-20, khususnya bagi warga Nahdliyyin. Tokoh ini pernah memegang jabatan puncak pada Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, sebagai Rais Am Pengurus Besar Syuriyah, yang merupakan pengendali organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Pengaruh Kiai Ali Ma’sum bukan saja dikarenakan beliau secara formal pernah menduduki jabatan strategis dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, tetapi juga karena kedalaman ilmunya dan peran yang diambilnya, baik dalam dunia keilmuan, spiritual maupun kemasyarakatan. Dari sinilah lahir kharisma sebagaimana layaknya dimiliki oleh ulama-ulama besar lainnya. Ali bin Ma’sum dilahirkan tanggal 2 Maret 1915 di Soditan, Lasem, Kabupaten Rembang pantai utara Jawa Tengah, Ali Ma’sum merupakan putera pertama dari hasil perkawinan Kyai Haji Ma’sum yang lebih popular dengan Mbah Ma’sum dengan Nuriyah binti Kyai Muhammad Zein. Mbah Ma’sum adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren al-Hidayat, Kampung Soditan, kota Lasem, Kabupaten Rembang. Sebagai putra seorang kyai pengasuh pesantren, Ali Ma’sum tentu saja mendapatkan pendidikan ilmu-ilmu keislaman yang cukup sejak masa kanak-kanaknya. Walau sebagai putra kyai yang sering dipanggil Gus, Ali Maksum tidak hanya menyandarkan diri pada charisma ayahandanya. Seorang Gus harus belajar giat sebagaimana santri lainnya, apalagi beliau sebagai calon kyai pengganti ayahnya setelah dewasa nantinya. Ali Maksum belajar kepada ayahnya sendiri dan santri-santri senior di Pesantren al-Hidayat. Beliau juga belajar kepada ulama-ulama di kampong halamannya, yang masih tergolong kaum kerabatnya. Lasem memang terkenal sebagai salah satu kota pantai utara Jawa yang mempunyai banyak ulama pesantren. Kemudian setelah menjelang akil baligh Ali Maksum mulai belajar ke pesantren yang lebih jauh. Beliau pernah nyantri kepada kyai Amir di Pekalongan, kemudian berangkat ke pesantren Termas, Kabupaten Pacitan, berguru kepada Kyai Dimyati, sekitar tahun 1927. Pesantren Termas, Pacitan tersohor karena salah seorang tokohnya menjadi ulama besar di tanah suci Mekah, ahli hadits yang sulit tandingannya pada akhir abad ke-19 hingga perempat pertama abad ke-20. Beliaulah syeikh Mahfudz at-Tarmisi yang tak lain kakak kandung Kyai Dimyati bin Abdullah yang memimpin Pesantren Termas ketika Ali Maksum mondok di sana. Sekitar 8 tahun Ali Maksum belajar di pesantren Termas, bahkan sempat menjadi ustadz di Pondok Pesantren itu. Ketika menjadi santri di Termas, tampak sekali kecemerlangan otak kyai muda asal Lasem itu, sehingga Kyai Dimyati memberikan restu kepada Kyai Ali Maksum yang baru menginjak usia 20 tahunan itu untuk mendirikan madrasah diniyah di kompleks pondok. Kyai Ali Maksum menjadi pendiri sekaligus kepala madrasah tersebut, dibantu anak buahnya bekas santrinya, seperti Abdul Mu’thi Ali sebagai wakil kepala madrasahnya. Nama terakhir ini kelak menjadi Menteri agama Republik Indonesia 1971-1978. Dengan berdirinya madrasah yang menggunakan sistem kalsikal di tengah-tengah pesantren yang bersistem halaqah tersebut, menunjukkan bahwa Kyai Ali Maksum adalah pembaharu di Pesantren Termas. Murid Kyai Ali Maksum sewaktu di Termas banyak sekali, di antaranya KH. Azhar Basyir yang pernah menjadi Ketua Umum Muhammaddiyah. Rintisan Kyai Ali Maksum di Pesantren Termas, Pacitan tetap berjalan hingga kini, diteruskan oleh para penggantinya. Setelah delapan tahunan mondok di Pesantren Termas sambil menjadi Kepala Madrasah di sana, Kyai Ali Maksum pulang ke kampong halamanny. Kepulangan ulama muda ini memang diharapkan oleh ayahandanya untuk membant mengajar dan mengembangkan pesantren al-Hidayat, Lasem. Menginjak usia 23 tahun, Kyai Ali Maksum dinikahkan dengan Raden Rara Hasyimah, puteri Kyai Haji Raden Munawir dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kyai Munawir merupakan ulama ahli Ulumul Qur’an yang terkenal dan masih termasuk kalangan bangsawan keratin Yogyakarta Ngayogjakartohadiningrat. Ulama besar ini merupakan saudara kandung KYai Mudzakir ayahanda Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakir, tokoh MUhammaddiyah yang terkenal dan pernah menjadi anggota Panitia Sembilan dalam bidang penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, bersama Ir. Sukarno, Drs. Muhammad Hatta, Kyai Wahid Hasyim dan lain sebagainya. Setelah perkawinan antara kedua insan yang belum banyak kenal sebelumnya itu, Kyai Ali Maksum tetap melaksanakan niatnya untuk belajar ke tanah suci Mekah. Beliau berangkat naik haji ke tanah suci 1938 dan menetap di sana selama dua tahun, untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman yang telah didapatkannya selama ini. sepulang dari tanah suci Kyai Ali MAksum yang telah menjadi ulama muda itu, semakin tampak kehebatannya, sebagai ulama intelektual yang brilian. Beliau memang terkenal sebagai ulama fikih, tetapi ahli juga dalam bidang tasawuf. Seorang hafidz yang memang benar-benar menguasai ulum al-qur’an termasuk qira’ah sab’ah serta ilmu-ilmu lain yang berkaitan. Seusai belajar dari tanah suci, Kyai Ali pulang ke Lasem, tidak lama kemudian beliau harus menetap di Krapyak karena mertuanya, Kyai Haji Munawir, wafat sekitar 1941, sedangkan putra-putra Kyai Munawir sebagian besar belum dewasa dan pesantren itu memang memerlukan kehadirannya sebagai sosok ulama yang benar-benar mempunyai jangkauan dan wawasan jauh ke depan. Sejak itulah Kyai Haji Ali Maksum menetap di Krapyak dan menjadi pengasuh utama pesantren itu hingga akhir hayatnya. Sebagai pesantren yang berada di pinggiran kota besar sekaligus kota pelajar, Krapyak yang asal mulanya sebagai pesantren salafiyah, berkembang menjadi pesantren modern walau tidak mungkin meninggalkan pembaharuan-pembaharuan di Pesantren Krapyak, walau cirri khas pesantren salafiyah tetap dipertahankan. Pesantren Krapyak dikembangkan sesuai dengan alur yang dirintis oleh Kyai Munawir, sebagai Pesantren Al-Qur’an. Kyai Ali Maksum, sebagaimana mertuanya, terkenal sebagai ahli tafsir, sehingga tepatlah beliau memimpin pesantren ini. beliau mengasuh Pesantren al-Munawwiriyah, Krapyak bersama saudara-saudara iparnya seperti Kyai Abdul Kadir Munawir, Kyai Warson Munawir, Zainal Abidin Munawir, dan lain sebagainya. Di samping pesantren al-Qur’an, Krapyak kemudian juga berkembang sebagai pesantren yang mempunyai tipe perkotaan, dalam arti pesantren yang berusaha untuk mensantrikan calon sarjana atau mengulamakan calon intelektual muslim. Tipe yang demikian tidak ubahnya dengan pesantren di wilayah perkotaan atau pinggiran kota, dimana santrinya banyak juga merangkap di sekolah umum ataupun kuliyah di perguruan Tinggi di luar pesantren. Mereka adalah calon-calon intelektual yang harus diisi sedemikian rupa tentang ilmu-ilmu keislaman, agar kelak menjadi intelektual muslim yang kuat memegang agamanya. Berarti Pesantren Krapyak di samping mencetak ulama-ulama ahli ilmu al-Qur’an, juga mencetak ulama-ulama intelektual atau paling tidak intelektual santri. Nama Kyai Haji Ali Maksum di kalangan masyarakat sudah tidak asing lagi, karena peran yang diambilnya di berbagai sector, sebagai ulama intelek, sebagai ilmuwan, seagai tokoh organisasi Islam maupun sebagai pemimpin pada umumnya. Di kalangan intelektual dan dunia kampus, Kyai Haji Ali Maksum dikenal sebagai dosen ilmu tafsir yang benar-benar ahli dalam bidangnya dan berpandangan luas. Sebagai ulama ahli tafsir beliau termasuk salah seorang tim Lembaga Penyelenggara Penerjemahan Kitab Suci Al-Qur’an yang di bentuk Menteri Agama tahun 1962, bersama-sama KH. Anwar Musaddad, Prof Hasbi Assiddiqy dan lain sebagainya, yang diketuai Prof. RHA Sunaryo, SH., Rektor IAIN Sunan Kalijaga saat itu. Sebagai hasil kerja tim ini adalah Terjemah Kitab suci al-Qur’an 30 juz yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Di lingkungan pesantren, beliau dikenal sebagai ulama yang luas sekali ilmunya. Beliau adalah seorang ahli tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an, seorang ahli fikih, sebagai ahli bahasa Arab beserta ilmu alatnya, sebagai ulama yang menguasai berbagai macam kitab, baik yang menjadi rujukan ulama-ulama tradisional maupun ulama-ulama modernis, termasuk menguasai kamus Munjid, sehingga dijuluki Munjid berjalan. Beliau pulalah yang memimpin penyusunan kamus Bahasa Arab terkenal bernama kamus al-Munawir, dan dilaksanakan langsung oleh KH. Warson Munawir. Beliau sangat menguasai kitab-kitab rujukan ulama-ulama modernis, melebihi penguasaan dari ulama-ulama kelompok modernis itu sendiri, seperti kitab-kitab karangan ibn Taimiyah, ibn Qasim, Sayid kutub dan lain sebagainya. Di kalangan jam’iyyah Nahdlatul Ulama, beliau juga terkenal sebagai ulama yang berpengetahuan dan berwawasan luas dalam pengetahuan keislaman maupun kemasyarakatan. Beliau pernah menjadi anggota konstituante mewakili partai Nahdlatul Ulama setelah pemilu untuk lembaga itu, 15 Desember 1955 sampai lembaga pembuat konstitusi itu dibubarkan sesuai dekrit Presiden 5 juli 1959. Kyai Ali Maksum menduduki jabatan Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Yogyakarta selama bertahun-tahun sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1981, ketika beliau diangkat sebagai pengganti antar waktu KH. Bisri Syansuri, Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu wafat 25 April 1980, sehingga Kyai Haji Anwar Musadda yang adalah wakil Rais Am saat itu kemudian menggantikan kedudukan Kyai Bisri Syansuri sebagai pejabat sementara. Berdasarkan Musyawarah Nasional Syuriyah NU di Kaliurang tahun 1981, Kyai Ali MAksum diangkat sebagai Rais Am sampai dengan Muktamar berikutnya. Pengangkatan ini disebabkan Kyai Ali Maksum, disamping telah memenuhi persyaratan khusus untuk jabatan Rais Am yakni sebagai penyatu pondok pesantren, sementara Prof. KH. Anwar Musadda belum memiliki Pondok Pesantren. Setelah pemilu 1982 terjadi perpecahan di dalam tubuh NU menjadi dua kubu, yakni kubu Cipete di bawah pimpinan KH. Dr. Idham Khalid dan kubu Situbondo di bawah KH. Ali Maksum dan KH. As’ad Syamsul Arifin. Perselisihan dua kubu ini berlangsung sampai dua tahun 1982-1984, walau akibat sampingnya masih terasa hingga satu dasawarsa. Setelah diselenggarakan Muktamar NU di Situbondo, 8-12 Desember 1984 Kyai Haji Ahmad Shiddiq terpilih sebagai Rais Am Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama, sedangkan Kyai Ali Maksum, Kyai Dr. Idham Khalid dan KH. As’ad Syamsul Arifin duduk dalam lembaga Musytasyar Penasehat PBNU beserta beberapa tokoh lainnya. Posisi Kyai Ahmad Shiddiq sebagai Rais Am dipertahankannya dalam Muktamar NU di Pesantren Krapyak, Yogyakarta Pesantren yang dipimpin Kyai Ali Maksum akhir Nopember 1989. Kyai Ali Maksum memang tipe seorang ilmuwan Islam atau ulama intelek, tetapi bukan tipe tokoh yang punya kemampuan komando imamah yang kuat sebagaimana Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Kyai Haji Wahab Hasbullah maupun Kyai Bisri Syansuri. Kyai Wahab maupun Kyai Bisri Syansuri mempunyai kemampuan komando terhadap Kyai Haji Idham Khalid yang menjadi Ketua Umum Tanfidziyah, sehingga KH. Idham Khalid manut kepada kedua ulama besar itu. Kyai Ali Maksum tidak memiliki kekuatan komando yang demikian, sehingga sulit mengendalikan KH. Idham Khalid, yang memang sudah terlanjur mempunyai pengaruh dan akar luar biasa di kalangan Nahdliyyin. Kharisma KH. Ali Maksum bukan terletak pada komandonya sebagai Rais Am Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama, tetapi terletak pada kedalaman ilmu dan wawasannya yang luas, serta wibawanya terhadap umat. Kaliber keulamaan Kyai Haji Ali Maksum tidak bisa diragukan lagi, beliau ulama besar bertaraf nasional. Pengakuan ini bukan saja datang dari kalangan Nahdliyyin, tetapi juga dari kalangan ulama-ulama pembaharu, khususnya Muhammadiyah maupun dari kalangan birokrat pusat maupun daerah. Ketika dilangsungkan Muktamar NU ke-28 di Pesantren Krapyak yang beliau pimpin, sebenarnya Kyai Ali Maksum sudah menderita sakit sejak beberapa saat sebelumnya. Beliau menemui Presiden Suharto ketika menjenguknya, dengan bertiduran di kamarnya yang sederhana, beberapa saat sebelum presiden membuka muktamar itu. Dari situ bisa di lihat bahwa walau dalam keadaan sakit dan berusia lanjut, beliau tetap berusaha menerima kehadiran muktamirin dari seluruh Indonesia, sebagaimana yang telah disepakati oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Seminggu setelah Muktamar selesai, masyarakat Islam, khususnya warga Nahdliyyin dikejutkan oleh berita duka yang datang dari Krapyak, Yogyakarta yang baru saja mengadakan hajat besar. Kyai Haji Ali Maksum wafat, menghadap panggilan Allah dalam usia 77 tahun, tepatnya tanggal 7 Desember 1989. Tentu saja warga Nahdliyyin dan segenap masyarakat Islam merasa kehilangan pemimpin spiritual yang berpengaruh. Walaupun beliau telah wafat, tetapi pengaruh ini akan tetap hidup di tengah-tengah masyarakat, sesuai dengan gerak langkah perkembangan Islam masa mendatang. Sumber H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Jakarta Gelegar Media Indonesia, 2010. Sumber Gambar santrinews Yahya Cholil Staquf serves as General Chairman of the Nahdlatul Ulama NU, or “Awakening of Scholars” Central Board. As the world’s largest Muslim organisation—with over 90 million members and 21,000 madrasahs—the Nahdlatul Ulama adheres to the traditions of Sunni Islam, and teaches that the primary message of Islam is universal love and compassion. Personal Education Mr. Staquf is descended from a long and illustrious line of Javanese ulama and was educated from earliest childhood in the formal and esoteric spiritual sciences of Islam, Mr. Staquf later became a disciple of venerated Islamic scholar and head of the NU Supreme Council, KH. Ali Maksum 1915–1989, and of long-time NU Chairman and Indonesia’s first democratically elected head of state, KH. Abdurrahman Wahid 1940 – 2009. Head of Expansive Network The Nahdlatul Ulama boasts an expansive network that covers 30 regions with 339 branches, 12 special branches, 2,630 rep­resentative councils and 37,125 sub-branch repre­sentative councils across Indonesia. This network practices the doctrine of Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’a, meaning “people of the Sunnah practices of the Prophet Muhammad and the community”. They base their practices on the traditional sources of Islamic jurisprudence—mainly the Qur’an, ha­dith, and major schools of law. Among its aims are the propagation of Nahdlatul Ulama’s message and also an expansion of its already extensive network of members in Indonesia. This is the basis of many of the organisation’s social reform efforts. With a solid structure of central and regional boards, branch and special branch boards, and various advisory coun­cils, Staquf sits at the top of this influential Sunni movement. Model of Traditionalism With a mainly rural membership base, the Nahdlatul Ulama distinguish­es itself from other Islamic organisations in Indonesia by positioning itself as a premier organisation of tra­ditional Islam—with an emphasis on education and political engagement based on Islamic principles. Social Service The Nahdlatul Ulama has made substantial charitable contributions to Indonesian society in the fields of educational development, healthcare, and poverty alleviation. Staquf, like his predecessors, propagates the Nahdlatul Ulama as an organisation that is geared toward establishing a secular nation-state based on a body of modern and moderate Muslims—with agenda items such as an­ti-corruption laws and social reform measures that are deeply rooted in Islamic principles. Advisor Staquf also served on HE President Joko Widodo’s Presidential Advisory Council, where he advised the President on religious, domestic and international affairs. Staquf co-founded the US-based organisation Bayt ar-Rahmah li ad-Dawa al-Islamiyah Rahmatan li al-Alamin The Home of Divine Grace for Revealing and Nurturing Islam as a Blessing for All Creation, and the Center for Shared Civilizational Values in 2021, both to serve as hubs for the expansion of Nahdlatul Ulama operations in North America, Europe and the Middle East. Dua atau tiga tahun yang lalu beredar cerita di media sosial. Tentang seorang kyai asal Lasem yang bernama Kyai Ali Yahya. Entah siapa yang pertama meriwayatkannya. Yang pasti kisah tersebut menunjukkan betapa bijaksananya sosok kyai kita yang satu ini. Konon Kyai Ali Yahya punya penampilan fisik yang tidak umum. Badannya tinggi tegap, wajahnya tampan. Kalau sorban atau pecinya ditanggalkan, beliau tak terlihat seperti kyai tapi bule dari Eropa. Maka tak mengherankan kalau saat itu banyak kaum Hawa yang terpesona olehnya. Suatu malam Kyai Ali Yahya bertandang ke Jepara. Jarak perjalanan dari kediaman beliau sekitar 114 kilometer. Di sebuah perempatan mobil beliau berhenti karena lampu merah menyala. Saat itulah seorang wanita muda, cantik, dan berdandan menor menghampiri. Wanita tersebut mengira pria di dalam mobil itu pelancong. Seorang bule tajir melintir yang tengah mencari kesenangan di Indonesia. Kebetulan saat itu Kyai Ali Yahya memang sedang melepas peci dan sorbannya. Baca juga Ganyang HTI Sepak Terjang Gus Muwafiq Menghadang Gerakan Khilafah “Malam, Om,” ujarnya, di dekat jendela mobil. “Malam,” jawab Kyai Ali Yahya. “Boleh ikut, Om?” “Oh, boleh, silakan!” Tanpa banyak berpikir wanita itu membuka pintu belakang dan duduk di kursi mobil. Merapikan posisinya, lalu bertanya ke mana pria-pria di depannya menuju. “Aku temenin sampai pagi ya, Om?” ujarnya. Saat itulah Kyai Ali Yahya mengenakan peci dan sorbannya. Lalu mematut-matut wajahnya di spion mobil, dan menjawab bahwa dirinya akan menghadiri acara di Jepara. “Mau ngisi pengajian,” jawab beliau, “ikut saja, gak apa.” Wanita itu geragapan. Tak menyangka pria yang digodanya adalah seorang ulama. Wajahnya tak bisa menutupi rasa takut. Ingin rasanya tiba-tiba menghilang saat itu juga. “Maaf, Pak Kyai, saya tidak tahu. Saya turun di sini saja,” pintanya. “O, gak apa-apa, Mbak. Sekali-kali ikut pengajian kan bagus.” “Saya turun di sini saja …” “Lho gak bisa, Sampeyan tadi kan bilang mau ikut!” “Tapi saya kan gak pakai jilbab.” “Gampang, nanti pinjem jamaah.” “Tapi saya malu, Pak Kyai.” “Mbak,” ujar Kyai Ali Yahya, “Sampeyan jadi wanita penghibur gak malu, ini ikut pengajian kok malu?” Dan wanita itu pun akhirnya pasrah. Baca juga Silaturahmi Gus Dur Dari Orang Pinggiran Sampai Kyai Besar Mobil terus berjalan menuju Jepara. Begitu tiba di tempat tujuan jamaah sudah memadati lokasi pengajian. Sebelum turun, Kyai Ali Yahya memanggil panitia wanita dan meminta jilbab. “Bu Nyai lupa gak pakai jilbab,” kata beliau. Tentu saja aneh. Mana ada istri kyai menghadiri pengajian tapi lupa memakai jilbab? Tapi kebingungan di kepala panitia itu tak dihiraukannya. Apalagi yang meminta adalah kyai undangan. Ia bergegas mencari pinjaman jilbab, tanpa banyak bicara. Setelah turun dari mobil, Kyai Ali Yahya dan wanita itu dijamu tuan rumah. Keduanya duduk di ruangan yang terpisah. Kyai Ali Yahya di ruang depan, wanita itu di ruang belakang. Kyai Ali Yahya lalu sibuk berbincang dengan tuan rumah. Tenggelam bersama jamaah lain dalam percakaan seputar hajatnya. Sementara wanita penghibur itu cemas luar biasa. Seumur-umur baru kali itu ia hadir di pengajian. Sebagai “bu nyai” pula! Ia diperlakukan bak seorang ratu. Diajak berbincang. Dipersilakan menikmati hidangan. Tak seorang pun tahu wanita itu biasa menjajakan dirinya di perempatan jalan. Menggoda pria-pria hidung belang yang melintas dan menawarkan jasa kepada siapa pun yang kesepian. Singkat cerita pengajian Kyai Ali Yahya selesai dan rombongan dari Lasem itu bersiap pulang. Tuan rumah berkali-kali mengucapkan terima kasih atas kehadiran mereka. Jamaah pria di ruang tamu lalu meminta Kyai Ali Yahya memanjatkan doa. Agar keberkahan Allah limpahkan pada mereka dan keluarganya. Jamaah wanita tak mau kalah. Ada “bu nyai” di dekat mereka, apa salahnya meminta barakah doa? Saat itulah sebuah gempa mengguncang hati wanita itu. Tak kuasa ia menolak permintaan sang tuan rumah, sebab kadung diamini oleh para jamaah yang lain. Tapi apa yang bisa ia baca, sebab bahkan salat saja entah kapan terakhir ia kerjakan. Beruntung. Di saat-saat kritis itu sebuah doa dari masa kecil tebersit di kepalanya. Buah ajaran orangtua dan guru mengajinya. Maka tanpa banyak bicara, doa pendek itulah yang ia rapal. Disambut “amin-amin” jamaah yang mengelilinginya. Kyai Ali Yahya lalu memberi kode. Tanda keduanya harus segera beranjak. Jamaah pria pun mengantar beliau hingga ke samping mobil. Begitu pula jamaah wanita, melepas sang “bu nyai” itu hingga ke pinggir jalan. Baca juga Negara Islam Komentar Gus Dur tentang Imajinasi Muslim Garis Keras Kyai Ali Yahya menyalami jamaah pria, lalu mengucapkan salam pamit. Tak mau ketinggalan, wanita penghibur itu juga berpamitan. Tapi tak disangka, jamaah wanita berebut menyalaminya. Mengembangkan senyum tulus di wajah mereka, lalu menciumi tangannya. Gempa susulan yang tak kalah dahsyat mengguncang hati wanita itu. Dalam perjalanan pulang, tak ada suara terdengar dari dalam mobil. Kyai Ali Yahya diam seribu bahasa. Sementara sang supir tampak awas melihat ke depan. Di kursi belakang, wanita penghibur itu tak sudah-sudah menangis sesenggukan. Entah apa yang ada di pikirannya. Sumber foto

kyai haji ali yahya lasem